Rabu, 24 November 2010

Belajar Menabung dari kecil

Budaya menabung sebaiknya dimulai sejak dini, terutama pada anak-anak, memang bukan hal baru lagi, tapi bagi sebagian orang belum menerapkan ini pada anak-anaknya, karena masih merasa serba kecukupan, padahal walau kita dalam keadaan yang berlebih, justru dengan membiasakan anak untuk menabung sejak dini, dimulai dengan menabung ala kampung yaitu dengan menabung pada media tabungan ala tradisional seperti celengan ayam dsb, memberikan pendidikan yang berharga dan bernilai positif buat anak, karena akan melatih mereka senantiasa berperilaku sederhana dan tidak bergaya hidup boros. Jika ini diterapkan sejak kecil kelak si anak dewasa kebiasaan ini akan terbawa dan  kelakjika mereka  mempunyai anak pasti akan menerapkan pula pada anak-anaknya.
Menabung bukan berarti pelit, akan tetapi menabung suatu cara untuk safety dari keadaan terdesak masalah keuangan, dengan menabung kita bisa menghindarkan diri dari pinjaman yang berbunga besar melalui rentenir, sang lintah darat, memang dalam keadaan sadar kita akan berusaha untuk menjauhkan diri dari meminjam pada rentenir, mengingat bunganya yang besar dan rata-rata rentenir tidak memberikan konpensasi apabila telah jatuh tempo pembayarannya, akan tetapi semua pikiran itu akan sirna jika kita dilanda suatu problem apalagi yang berbau duit, semua jalan akan ditempuh termasuk meminjam pada rentenir walau bunga yang ditawarkan setinggi langit, yang ada hanya ingin cepat-cepat keluar dari masalah yang sedang dihadapi pada saat itu, padahal justru mengundang masalah baru, karena kita harus membayar hutang pada sang renten plus bunganya.
Oleh karena itu, biasakan budaya menabung dalam keluarga kita, karena akan banyak manfaat yang akan kita dapatkan, terutama bagi anak-anak kita, memang suatu sifat yang lahiriah ingin membahagiankan anak dengan memanjakannya dengan uang, tetapi alangkah bijaknya jika kebiasaan memanjakan anak dengan uang kita alihkan dengan cara agar uang yang kita berikan kita tuntun sang anak untuk menyimpannya sebagian, tanpa harus menghabiskan semuanya.
Dunia anak memang dunia hobi-hobinya belanja, atau istilahnya hobi jajan, akan tetapi semua itu dapat ditekan dengan mengajarkan pada anak untuk terbiasa menabung. Langkah itu juga tidak serta merta hanya diperuntukkan kepada si anak saja, kita sebagai orang tua harusnya yang terlebih dahulu mencontohkannya, karena si anak pada umumnya suka meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya, contoh kecil  adalah sekali-sekali mengajak si anak ke bank pada waktu kita akan menabung uang, akan tetapi tidak cukup itu, kita harus menjelaskan kepada anak-anak kita maksud dan tujuan kita ke bank, agar mereka mengerti mengapa orang tuanya  mengajak ke bank.
Menabung cara tradisional dengan celengan ayam, merupakan langkah awal buat kita dalam mengajarkan hal positif kepada anak dalam mengelolah keuangannya. Tapi janganlah pula lupa untuk mengajarkan pula ke anak untuk rajin-rajin bersedekah sebagai tabungannya kelak di akhir massa, tentunya dengan penjelasan dan pemahaman yang mudah dimengertinya.


Ayo nabung....... di Bank Syariah Artha Madani yah..........

Tips Belajar Efektif

Tips Belajar Efektif
Ada baiknya Anda membuat persiapan yang baik buat satu semester ke depan. Tak ubahnya para peserta diri yang dituntut mempersiapkan segala keperluan, seperti buku pelajaran, buku tulis atau baju seragam. Selain itu, ada beberapa hal penting yang perlu Anda perhatikan, Pertama, tentukan target Anda di semester ini apa. Kemudian buat jadwal harian yang isinya langkah-langkah menuju target tersebut. Supaya target belajar goal-nya lebih cepat, berikut ada beberapa tips bagaimana cara belajar yang efektif, yang telah teruji oleh beberapa negera maju. Tips ini bias Anda jalankan sendiri, atau ditularkan kepada peserta didik Anda.
1. Seorang teman dari Amerika memberi saran belajar yang dia dapat dari ayahnya. Hari pertama sekolah, ulang kembali pelajaran yang telah didapat. Setelah itu baca singkat dua halaman materi berikutnya buat cari kerangkanya saja. Begitu pelajaran tersebut diterangkan guru esoknya, Anda sudah punya gambaran atau dasarnya, tinggal menambahkan saja apa yang belum Anda tahu. Jadi begitu pulang sekolah, tinggal mengulang saja untuk mencari kesimpulan atau ringkasan.
2. Usahakan selalu konsentrasi penuh waktu mendengarkan pelajaran yang disampaikan guru atau totor. Materi yang Anda dengar bakal mudah dipanggil lagi begitu Anda menghapal ulang pelajaran tersebut.
3. Beberapa teman juga merekomendasikan untuk mengetik ulang catatan pelajaran ke dalam komputer. Logikanya, dengan mengetik ulang catatan berarti sama saja dengan membaca ulang pelajaran yang baru saja didapat dari sekolah. Materi yang diulang tadi bisa tersimpan di memori otak buat jangka waktu yang lama. Lebih bagus lagi kalo membacanya kembali atau mempelajari catatan tersebut setelah diketik.
4. Cara lain adalah dengan membaca ulang catatan pelajaran kemudian buat kesimpulan dengan kalimat sendiri. Supaya dapat terpatri lama di memori, tulis kesimpulan tadi di secarik kertas kecil seukuran kartu nama. Kartu-kartu tersebut efektif untuk mengulang dan membaca singkat kala senggang.
5. Teman lainnya menyarankan untuk selalu menggunakan buku catatan yang berbeda pada setiap mata pelajaran. Cara ini dinilai lebih teratur sehingga pada waktu ingin mengulang suatu pelajaran kita tidak perlu lagi harus membuka semua buku.
6. Mengulang pelajaran tidak selamanya harus dengan membaca atau menulis. Mengajari teman lain tentang materi yang baru diulang bisa membuatmu selalu ingat akan materi tersebut. Bagusnya lagi, Anda menjadi lebih paham akan materi tersebut.
7. Belajar mendadak menjelang tes memang tidak efektif. Paling tidak sebulan sebelum ulangan adalah masa ideal buat mengulang pelajaran. Materi yang banyak bukan masalah. Caranya: selalu buat ringkasan atau kesimpulan pada setiap pelajaran, kalau perlu pakai tabel atau gambar ilustrasi supaya mudah diingat.
8. Ada beberapa teman di Australia yang menyukai waktu belajar pada siang hari. Maklum, badan masih segar setelah tidur cukup di malam hari, jadi semangat masih tinggi. Kondisi yang bagus tersebut tidak mereka sia-siakan begitu saja. Pagi mereka konsentrasi penuh pada pelajaran di kelas dan siangnya konsentrasi untuk mengulang kembali. Malam hari hanya mereka gunakan untuk mengerjakan aktivitas ringan atau pekerjaan rumah. Jadi tidak pernah ada kata begadang.
9. Kalau badan capek, bakal susah buat konsentrasinya. Beberapa teman menyarankan untuk libur dulu dari acara olah raga atau kegiatan fisik lainnya sehari menjelang ulangan umum.
10. Belajar sambil mendengarkan musik memang asyik. Pilih music yang tenang tapi menggugah. Musik klasik macam Beethoven ato Mozart bisa dicoba. Musik tipe ini cocok banget buat menemani kamu selama mengerjakan tugas yang jawabannya sudah pasti, seperti matematika, ilmu alam atau bahasa asing. Dijamin stamina belajar Anda akan selalu berisi dan penuh semangat.
Memang bingung ya kalau semua orang saling memberi tahu apa yang harus dikerjakan. Paling penting adalah utamakan prioritas Anda. Karena biasanya kita menilai diri sendiri dari apa yang dirasakan, sedang orang lain hanya melihat dari apa yang telah kita hasilkan. Sementara apa yang bisa kita hasilkan hanya kita sendiri yang tahu. Jadi, buat target yang kamu percaya mampu meraihnya bukan apa yang dipikirkan orang lain. Begitu juga dengan cara belajar efektif, pilih cara baik mana yang paling pas dengan kondisi Anda. Selamat mencoba!
Sumber: Study Tips from Students,
www.adprima.com

Belajar ikhlas agar hidup lebih bergairah

Hidup itu memang tidak mesti selalu adem ayem saja. Sekali waktu ada masa diselingi masalah. Entah itu masalah keluarga, kesehatan, keuangan, pekerjaan, atau masalah hubungan sosial. Satu dua masalah mungkin bisa diselesaikan tanpa mengganggu ritme kehidupan, tapi wajar pula jika ketika banyak masalah datang bersamaan, tubuh sedikit terhuyung agak sempoyongan. Dan belajar ikhlas barangkali menjadi obat mujarab agar hidup kembali bergairah dan tetap bergairah. HOT .. HOT … HOT!
Namun namanya juga belajar memang tidak semudah bicara, dan jelas yang penting adalah prakteknya! Maksudnya mau ikhlas seperti apa tho mas? Ikhlas nrimo sajalah tanpa usaha berbenah?
Ah barangkali maksudnya belajar ikhlas seperti … ikhlas berani jujur mengaku salah, ikhlas berani jujur mengaku keliru, ikhlas berani jujur kurang … bersyukur !.
Dan eh … dengan begitu barangkali dapat pahamlah bahwa, ternyata masalah sebenarnya itu bukan masalah keluarga, bukan masalah kesehatan, bukan masalah keuangan, bukan masalah pekerjaan, bukan juga masalah hubungan sosial, tapi masalah sebenarnya itu ternyata … diri sendiri! … yang kurang bersyukur atas nikmat karunia Ilahi!
Hmm .. Astaghfirullah …!!!

BELAJAR HIDUP DARI SANG ELANG

Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang didunia. Umurnya dapat mencapai 70 tahun. Tetapi untuk mencapai umur sepanjang itu seekor elang harus membuat suatu keputusan yang sangat berat pada umurnya yang ke 40.
Ketika elang berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal, sehingga sangat
menyulitkan waktu terbang. Pada saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan:

Menunggu kematian, atau mengalami suatu proses transformasi yang sangat menyakitkan — suatu proses transformasi yang panjang selama 150 hari.
Untuk melakukan transformasi itu, elang harus berusaha keras terbang ke atas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang di tepi jurang , berhenti dan tinggal disana selama proses transformasi berlangsung.
Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, kemudian berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan menyakitkan. Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh.
Elang mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, elang tersebut mulai menjalani 30 tahun
kehidupan barunya dengan penuh energi!
Dalam kehidupan kita ini, kadang kita juga harus melakukan suatu keputusan yang sangat berat untuk memulai sesuatu proses pembaharuan. Kita harus berani dan mau membuang semua kebiasaan lama yang mengikat, meskipun kebiasaan lama itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan melenakan.
Kita harus rela untuk meninggalkan perilaku lama kita agar kita dapat mulai terbang lagi menggapai tujuan yang lebih baik di masa depan. Hanya bila kita bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk belajar hal-hal yang baru, kita baru mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kita yang terpendam, mengasah keahlian baru dan menatap masa depan dengan penuh keyakinan.
Halangan terbesar untuk berubah terletak di dalam diri sendiri dan andalah sang penguasa atas diri anda. Jangan biarkan masa lalu menumpulkan asa dan melayukan semangat kita. Anda adalah elang-elang itu.
Perubahan pasti terjadi. Maka itu, kita harus berubah!

Apakah Kemiskinan itu Takdir ?

Pagi-pagi saya bertemu dengan salah seorang kawan, belum beberapa menit saya duduk dia langsung bicara, “Rif lihat nggak ada tulisan yang menyatakan bahwasanya kemiskinan itu takdir?” Saya pun bertanya “tulisan siapa dan siapa yang bicara”, kata saya. Salah satu calon gubernur ujar.
Dalam hati saya berfikir,sebentar lagi memang hari pencoblosan di Kalsel, maka segala apapun yang bisa di jual maka di jual oleh para kandidat melalui tim suksesnya. Selama ini saya yang biasa berkutat dengan surat kabar atau berita, kadang tidak 100 % mempercayai berita yang ditulis, kecuali saya meliat dan mendengar dari sumbernya.
Namun pembicaraan saya dan kawan saya di pagi hari ini, membuat saya mereview debat kandidat cagubcawagub kalsel yang ditayangkan beberapa lalu, dan memang ada salah satu cagub dalam debat kandidat  yang menyatakan bahwasanya “kemiskinan itu adalah takdir”, pantes saja ada beberapa kawan di wall facebooknya tersinggung dengan peryataan cagub tersebut, dan saya pun juga demikian.
Menurut saya kemiskinan bukanlah takdir, karena kemiskinan merupakan bagian dari kehidupan yang harus dirubah oleh manusia dengan berusaha. ”bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya.” Seseorang yang hanya diam tanpa berusaha maka dia tidak mendapatkan apapun. Bahkan Rasulullah pernah menegur sahabat yang hanya diam di masjid berdoa tanpa berusaha menghidupi keluarganya.renday
Menurut Prof. Dr. Nur Syam, M.Si, Dosen IAIN Sunan Ampel, untuk berusaha , maka dibutuhkan tiga hal utama, yaitu: kemampuan akal, kemampuan fisik dan struktur sosial yang mendukung akses ”keduniawian” tersebut. Melalui kemampuan akal, kecerdasan, pendidikan, keahlian atau profesionalitas, yang didukung oleh kesehatan fisik yang memadai serta didukung oleh struktur sosial yang memberi peluang untuk berusaha, maka dimungkinkan bahwa seseorang akan mampu berkembang dalam mengakses kehidupan duniawi.
Untuk memahami tentang pentingnya struktur yang memberi peluang bagi pengentasan kemiskinan adalah apa yang dilakukan oleh Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya. Dukungan struktur yang baik terhadap kemungkinan akses ekonomi, ternyata bisa menjadi jalan keluar dari masalah kemiskinan. Dengan pemberian modal yang sesuai dengan kebutuhan mereka, maka mereka bisa mengakses perekonomian yang selama ini tertutup.
Sehingga pada dasarnya kemiskinan itu bukanlah takdir, bahkan selama di perjalanan pagi ini, saya berfikir alangkah sombongnya seseorang yang menyatakan kemiskinan itu takdir, sebagaimana dia juga bisa mengatakan saya menjadi kaya adalah takdir.

You are hereRenungan / Belajar Hidup dalam Kerendahan Hati Belajar Hidup dalam Kerendahan Hati

“Saya sudah biasa hidup susah seperti ini. Karena itu, saya tidak mau hidup kami bertambah susah kalau makan harta yang bukan hak kami,” tambahnya menegaskan.
Kalimat lugas di atas bukanlah penggalan kalimat hiperbolis yang biasa diumbar dalam adegan sinetron picisan yang acap kali ditayangkan stasiun TV. Atau pilihan-pilihan kata yang sengaja disiapkan untuk menarik perhatian publik agar terlihat bermoral.
Kata-kata itu pastinya keluar dari orang yang istimewa? Tidak! Dia bukan seorang ulama, bukan seorang politisi, bukan seorang seniman, apalagi pengusaha. Rangkaian kata-kata sederhana itu meluncur begitu saja seakan membangunkan tidur panjang kita dari alam ketidakjujuran. Tutur katanya keluar tanpa beban, sikapnya begitu membumi, bersahabat dan jauh dari keangkuhan, gayanya begitu unik ‘ndeso’, dengan tawanya yang begitu lepas.
Pria berbadan jangkung, bapak tiga anak ini sehari-hari, dikenal warganya sebagai petani lugu. Namun, prinsip hidupnya sebagai warga desa yang jujur ternyata masih utuh. Keluguan dan kejujuran tersebut teruji saat dia menerima transfer uang muka ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya, pertengahan Juli lalu.
Waras, (56), Warga Desa Siring, Porong, Kabupaten Sidoarjo masih tetap berotak dan berhati waras, meski ber bulan-bulan menderita akibat rumahnya tenggelam luberan Lumpur panas lapindo dan sulit mendapatkan makanan, tetapi tetap memiliki hati nurani yang bersih. Kubangan Lumpur tidak serta merta mengotori hatinya, ini dibuktikan ketika Waras mengembalikan “uang kelebihan” dari ganti rugi yang diberikan manajemen PT Minarak Lapindo Jaya.
Pergulatan batin bapak 3 anak itu bermula ketika Waras mengecek rekening untuk menampung uang muka transaksi lahannya yang sudah tergenang lumpur. Waras yang memang sudah menunggu 20 persen ganti rugi uang pembayaran lahannya yang 2.440 meter persegi sebesar Rp 56 juta itu tak pernah menyangka saldonya akan kelebihan hingga Rp 429 juta.
Idealnya, dengan uang sebanyak itu Waras bisa berbuat banyak untuk keluarganya. Apalagi kebutuhan keluarga mereka sudah semakin melambung setelah menjadi korban langsung bencana lumpur. Dua dari 3 anaknya, Iswanto dan Sri Wahyuni, sudah berstatus pengangguran karena pabrik tempatnya bekerja ditutup karena lumpur.
Jumlah saldo itu bahkan jauh lebih besar dari total nilai ganti rugi yang akan mereka terima sebesar Rp 398 juta. Tapi itulah Waras. Kepala keluarga ini merasa serba tak enak gara-gara kelebihan uang ini. Bukan cuma tidak bisa tidur, Waras juga mengaku tak enak makan. “Bukan cuma saya yang merasakan, tapi istri dan anak-anak saya juga merasakan hal yang tak pernah kami rasakan sebelumnya,” kata dia.
Sebelum situasi menjadi makin berlarut-larut, keluarga amat sederhana ini kemudian mengeluarkan keputusan. Menurut Waras, keluarga yang dipimpinnya kembali mengingatkan tentang tujuan hidup mereka yang ingin tetap hidup adem-ayem tanpa masalah.
Kepolosan warga desa ini juga tergambar dari kekhawatiran bakal berurusan hukum bila tetap nekat menggunakan uang tersebut. Suami Astiyah itu tak bisa membayangkan kelanjutan nasib anak dan istrinya bila dirinya masuk penjara karena kesalahan yang tidak dilakukannya itu.
Keluarga amat sederhana ini kemudian sepakat mengambil keputusan untuk mengembalikan uang kelebihan tersebut, karena falsafah hidupnya menginginkan hidup adem ayem tanpa masalah, sehingga kepolosan warga desa ini tergambar dari kekhawatiran berurusan dengan hukum, dan atas kejujurannya itu Waras menerima hadiah dari PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) yang merupakan relatif uang halal.
Bekerja keras, kelelahan, letih, semua itu adalah rona kehidupan sehari-hari yang dijalani keluarga Pak Waras. Dan hal itu telah menjadi batu-pengasah bagi hati dan jiwanya. Kesusahan hidup, penderitaan hidup, jalannya perjuangan buat kehidupan, buat cita-cita, buat kebaikan masarakat, apalagi buat bangsa dan negara, semua itu menempa dirinya, menyepuh dirinya.
Pak Waras begitu waras tentang keyakinan bahwa seseorang akan menjadi baja yang baik, emas-intan dan permata yang baik, atau hanya loyang dan tembaga biasa saja, malah hanya hamparan batu kerikil saja, atau bahkan sampah karena ditentukan oleh lingkungan, dan diri sendiri. Olah dan ulah kita sendiri akan menentukan watak diri kita, dan semua itu dijalani dalam spirit perjuangan kehidupan itu sendiri.
Di era sekarang ini masih adakah Waras-Waras lain? Yang telah begitu lugas memberikan contoh pada kita semua tentang makna “Kejujuran”. Di mana fenomena palsu dan ketidakjujuran sudah menjadi salah satu penyakit dari orang yang hendak menginginkan suatu tujuan, baik jabatan maupun kekuasaan.
Kebohongan dan ketidakjujuran menjadi iklim sehingga orang yang tidak bermaksud bohong pun terpaksa harus berbohong. Lebih gawat lagi, kebohongan menjadi sarana berkomunikasi, hanya dalam kebohongan komunikasi bisa dijalankan. Dalam kondisi seperti itu jika masyarakat tidak berkomunikasi dalam kebohongan, dan memakai bahasa kebohongan, mereka akan ketinggalan dan tidak mendapatkan apa-apa.
Pembelajaran –yang merupakan sikap jujur biasa dari Waras– itu sangatlah mengena di tengah realitas kondisi sosial kemasyarakatan kita dewasa ini. Seharusnya memang demikianlah sikap yang kita pilih ketika menghadapi hal yang sama. Tetapi dapat dijaminkah “disiplin sosial” semacam itu memancar dari setiap orang?
Apakah nilai-nilai keteladanan sudah sedemikian langka, sehingga sikap wajar Waras malah seperti mendekonstruksi kenyataan yang mungkin mengemuka secara lain seandainya bukan dia yang menerima “rezeki tidak terduga” itu? Kita diingatkan, kita disentil, dan kita seperti dicerahkan!
Dalam pelajaran-pelajaran budi pekerti di masa lalu, para guru dan orang tua kita sering mengingatkan mengenai pentingnya “disiplin sosial”. Seperti dalam contoh bagaimana kita ditekankan untuk menyisihkan waktu guna menyingkirkan duri atau kayu yang menghalang di tengah jalan. Jika tidak disingkirkan, mungkin bukan kita yang akan tersandung, terkena duri atau mengalami akibat yang lebih parah, tetapi orang lain.
Muatan ajarannya, bagaimana kita memiliki kepedulian kepada orang lain. Juga contoh lain, bagaimana sikap yang harus dipilih seandainya kita menemukan uang yang terjatuh di tengah jalan.
Dalam kasus-kasus tertentu, bisa jadi akan aman-aman saja Pak Waras menggunakan “kelebihan” uang yang diterimanya tanpa dia minta. Bukankah bukan salah dia? Tetapi bukan itu sikap yang dia pilih, melainkan merasa ada hak yang bukan miliknya. Atau jika dilihat dari kacamata muraqabatullah, dia merasa “Allah selalu tahu”, dan ada “hak orang lain yang tidak boleh dia ambil”. Sikap semacam itulah yang seharusnya membuat kita malu. Mereka yang memegang kekuasaan mesti melihatnya sebagai kaca benggala. Bukankah banyak orang yang memiliki peluang dan memanfaatkannya “semaksimal mungkin”?
Krisis multidimensional, korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, teror, pelanggaran HAM, dan sebagainya, adalah daftar persoalan bangsa ini, namun hingga kini para pemimpin, politisi, dan elite Indonesia tidak pernah bisa menyelesaikan semua persoalan itu secara signifikan. Bertahannya Indonesia sampai saat sekarang ini bukan karena prestasi mereka, tetapi boleh jadi –dengan izin Allah– karena masih banyak rakyat jelata yang berjuang hidup gigih dalam kejujurannya. Semua persoalan itu berulang-ulang diwacanakan dan dipidatokan di kalangan pemimpin, politisi, dan elite Indonesia. Namun, hingga kini, mereka tetap menjadi persoalan yang bersarang dan merasuk kuat dalam kehidupan bangsa ini. Penyelesaian semua persoalan itu tidak akan pernah terjadi, jika para pemimpin, politisi, dan elite Indonesia tidak lebih dulu mengatasi dan menyelesaikan ketidakjujuran yang merupakan problem mendasar bangsa ini.
Kita sering diingatkan tentang tingkah laku sosial ini yang idealnya menggambarkan pancaran perilaku keagamaan kita. Ada nilai kesalehan yang selalu relevan. Tetapi realitasnya, banyak yang menunjukkan terjadinya kesenjangan pada banyak segi. Para koruptor seenaknya menggangsir harta rakyat. Jangankan berpikir tentang akibat bagi negara dan rakyat, usikan tentang kejujuran pun pasti tidak masuk dalam agenda. Hati nurani ditutup rapat. Pemanfaatan peluang merupakan hal yang biasa, sehingga kejujuran menjadi sikap langka. Dengan sikap dan kejujurannya yang natural, Pak Waras mengajak semua untuk berpikir “waras”.